Minggu, 30 Juni 2013

Kaitan Abnormalitas dengan Konsep Motivasi, Stress dan Gender



Abnormalitas
Ada empat cara abnormalitas yang dapat dikenal (Sarason & Sarason 1980) dan kebanyakkan bersetuju dengan pendekatan ini. Pertama ialah keadaan yang terkeluar dari pada norma statistik. Kedua ialah keadaan atau sifat-sifat yang terkeluar dari pada norma-norma sesuatu maayarakat. Ketiga ialah dengan mengenal cara mengenalpasti tingkah laku yang disalah adaptasi. Lazimnya, tingkahlaku yang disalah adaptasi oleh seseoarang yang sentiasa bersedih dan bermuram tidak akan lalu makan ,tidak boleh tidur ,tidak boleh keluar ,atau bergaul dengan oarang lain.Ini memaparkan tingkahlaku abnormal .Ini semua menggangu tatacara kehidupan nya harian nya.

Cara terakhir yang sering digunakan oleh pakar psikologi klinikal dalam menentukan tingkahlaku normal atau abnormal adalah dengan mengenalpasti kadar tekanan peribadi yang dihadapi oleh seseoarang itu. Bagai mereka yang sentiasa sedih, bermuram, tidak boleh bergaul dengan orang lain, yang sentiasa menghadapi tekanan dan beberapa masalah yang menggangu kehidupan harian mereka ini dikatakan sebagai cenderung kearah menghadapi masalah jiwa
INDIVIDU seperti ini jarang sekali dapat menyesuaikan dirinya dengan baik dalam berbagai bentuk sekitaran berbeza dan lantaran itu akan memencilkan dirinya dengan masyarakat.Kebanayakkan masanya akan iperuntukkan bagi menghadapi serta melayan tekanan yangs edang dihadapi tetapi tidak mencari jalan penyelesaian nya.

Satu kajian menarik yang dilakukan oleh Lili Mastura dan Prof. Wan Rafaei (1985)
,melihat kepada persepsi pelajar -pelajar melayu terhadap laku bilazim. Antara lain ,golongan ini melihat tingkahlaku bilazim sebagai merbahaya kepada masyarakat..menjatuhkan nama baik keluarga ,menyusahkan orang lain ,tidak boleh bercakap ttg perkara-perkara yang tidak penting ,mementingkan diri sendiri dan bertingkahlaku tak menentu .Daripada pandangan ini ,boleh dikatakan yang golongan belia mempersepsikan mereka yang abnormal sebagai satu kumpulan yang keluar dari norma-norma seperti sifat tingkahlaku serta sikap anggota sebuah masyarakat.



Motivasi
Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan.
Berdasarkan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, teori X dan Y Douglas McGregor maupun teori motivasi kontemporer, arti motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu. Seseorang dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa yang diinginkannya dengan mengerjakan pekerjaannya yang sekarang. Berbeda dengan motivasi dalam pengertian yang berkembang di masyarakat yang seringkali disamakan dengan semangat, seperti contoh dalam percakapan "saya ingin anak saya memiliki motivasi yang tinggi". Statemen ini bisa diartikan orang tua tersebut menginginkan anaknya memiliki semangat belajar yang tinggi. Maka, perlu dipahami bahwa ada perbedaan penggunaan istilah motivasi di masyarakat. Ada yang mengartikan motivasi sebagai sebuah alasan, dan ada juga yang mengartikan motivasi sama dengan semangat.
Menurut Cut Zurnali (2004), motif adalah faktor-faktor yang menyebabkan individu bertingkah laku atau bersikap tertentu. Jadi dicoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti kebutuhan apa yang dicoba dipuaskan oleh seseorang? Apa yang menyebabkan mereka melakukan sesuatu pekerjaan atau aktivitas. Ini berarti bahwa setiap individu mempunyai kebutuhan yang ada di dalam dirinya (inner needs) yang menyebabkan mereka didorong, ditekan atau dimotivasi untuk memenuhinya. Kebutuhan tertentu yang mereka rasakan akan menentukan tindakan yang mereka lakukan.
Lebih lanjut Cut Zurnali mengutip pendapat Fremout E. kast dan james E. Rosenzweig (1970) yang mendefinisikan motive sebagai : a motive what prompts a person to act in a certain way or at least develop appropensity for speccific behavior. The urge to action can tauched off by an external stimulus, or it can be internally generated in individual thought processes. Jadi motive adalah suatu dorongan yang datang dari dalam diri seseorang untuk melakukan atau sedikitnya adalah suatu kecenderungan menyumbangkan perbuatan atau tingkah laku tertentu.
William G Scott (1962: 82) menerangkan tentang motive adalah kebutuhan yang belum terpuaskan yang mendorong individu untuk mencapai tujuan tertentu. Secara lengkap motiv menurut Scott motive are unsatiesfied need which prompt an individual toward the accomplishment of aplicable goals. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan, motive adalah dorongan yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan perbuatan guna memenuhi kepuasannya yang belum terpuaskan. Selain itu, Maslow sebagaimana diungkap pada halaman sebelumnya membagi kebutuhan manusia ke dalam beberapa hirarki, yakni kebutuhan-kebutuhan fisik, keselamatan dan keamanan, sosial, penghargaan atau prestise dan kebutuhan aktualisasi diri.
Jika sebuah motif yang bertujuan untuk menyakiti dan membahayakan orang lain bisa disebut sebagai abnormalitas, karena secara garis besar abnormalitas diartikan sebagai salah satu tingkah laku yang keluar dari batas-batas norma yang berlaku pada masyarakat. Motif yang berakhir dengan tindakan abnormal merupakan wujud dari kepribadian yang menyimpang.

Stress adalah bentuk ketegangan dari fisik, psikis, emosi maupun mental. Bentuk ketegangan ini mempengaruhi kinerja keseharian seseorang. Bahkan stress dapat membuat produktivitas menurun, rasa sakit dan gangguan-gangguan mental. Pada dasarnya, stress adalah sebuah bentuk ketegangan, baik fisik maupun mental. Sumber stress disebut dengan stressor dan ketegangan yang di akibatkan karena stress, disebut strain.
Menurut Robbins (2001) stress juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu kesempatan dimana untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang. Dan apabila pengertian stress dikaitkan dengan penelitian ini maka stress itu sendiri adalah suatu kondisi yang mempengaruhi keadaan fisik atau psikis seseorang karena adanya tekanan dari dalam ataupun dari luar diri seseorang yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
Menurut Woolfolk dan Richardson (1979) menyatakan bahwa adanya system kognitif, apresiasi stress menyebabkan segala peristiwa yang terjadi disekitar kita akan dihayati sebagai suatu stress berdasarkan arti atau interprestasi yang kita berikan terhadap peristiwa tersebut, dan bukan karena peristiwa itu sendiri.Karenanya dikatakan bahwa stress adalah suatu persepsi dari ancaman atau dari suatu bayangan akan adanya ketidaksenangan yang menggerakkan, menyiagakan atau mambuat aktif organisme.
Sedangkan menurut Handoko (1997), stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Stress yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya.
Sedangkan berdasarkan definisi kerja stress, stress dapat diartikan sebagai:
  • Suatu tanggapan adaptif, ditengahi oleh perbedaan individual dan atau proses psikologis, yaitu suatu konsekuensi dari setiap kegiatan (lingkungan), situasi atau kejadian eksternal yang membebani tuntunan psikologis atau fisik yang berlebihan terhadap seseorang. 
  • Sebagai suatu tanggapan penyesuaian, dipengaruhi oleh perbedaan individu dan atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar ( lingkungan ) situasi atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan pada seseorang.
Menurut Mason (1971 ) membantah konsep yang mengatakan bahwa stress hanyalah merupakan badaniah saja. Ditunjukkkannya bahwa daya adaptasi seseoarang itu tergantung pada faktor-faktor kejiwaan atau psikologiknya yang menyertai stresor. Stres bukanlah konsep faal saja, lebih banyak dilihat sebagai konsep perilaku, setiap reaksi organisme terhadap stresor memungkinkan sekali terlebih dahulu dimulai oleh kelainan perilaku dan kemudian mungkin baru terjadi akibat faal, kemudian Mason (1976 ) menunjukkan bahwa terdapat pola hormonal yang berbeda terhadap stresor fisik yang berbeda.
Pada penelitain Wolf dan Goodel ( 1968 ) bahwa individu-individu yang mengalami kesukaran dengan suatu sistem organ, cenderung akan bereaksi etrhadap stresor dengan gejala dan keluhan dalam sistem organ yang sama.Kondisi sosial, perasaan dan kemampuan untuk menanggulangi masalah, ternyata mempengaruhi juga aspek yang berbeda-beda dari reaksi terhadap stres.
Menurut Selye (Bell, 1996) stress diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman, yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis, seperti: meningkatnya denyut jantung, yang kemudian diikuti dengan reaksi penolakan terhadap stressor dan akan mencapai tahap kehabisan tenaga (exhaustion) jika individu merasa tidak mampu untuk terus bertahan.
Lazarus (1984) menjelaskan bahwa stress juga dapat diartikan sebagai:
  • Stimulus, yaitu stress merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang menimbulkan stress atau disebut juga dengan stressor. 
  • Respon, yaitu stress merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stress. Respon yang muncul dapat secara psikologis, seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi dan mudah tersinggung.
·         Proses, yaitu stress digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stress melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi.
Jadi, stress dapat mempengaruhi fisik, psikis mental dan emosi. Tetapi, stress dapat mempunyai dua efek yang berbeda, bisa negatif ataupun positit, tergantung bagaimana kuatnya individu tersebut menghadapi stress atau bagaimana individu tersebut mempersepsikan stress yang sedang dihadapinya.


 Gender

Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya (Nevid, 2002). Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki atau wanita (Kaplan, 2002). Fausiah (2003) berkata, identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan daam diri seseorang yang berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan.
Identitas jenis kelamin (gender identity): keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense). Didasarkan pada sikap, perilaku, atribut lainnya yang ditentukan secara kultural dan berhubungan dengan maskulinitas atau femininitas. Peran jenis kelamin (gender role): pola perilaku eksternal yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense) dari identitas kelamin. Peran gender berkaitan dengan pernyataan masyarakat tentang citra maskulin atau feminim.
Konsep tentang normal dan abnormal dipengaruhi oleh factor social budaya, Perilaku seksual dianggap normal apabila sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan dianggap abnormal apabila menyimpang dari kebiasaan yang ada di masyarakat.
Gangguan Identitas Gender
Criteria diagnostic gangguan identitas gender: Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap gender lain:
  1. Berkeinginan kuat menjadi anggota gender lawan jenisnya (berkeyakinan bahwa ia memiliki identitas gender lawan jenisnnya) 
  2. Memilih memakai baju sesuai dengan stereotip gender lawan jenisnya 
  3. Berfantasi menjadi gender lawan jenisnya atau melakukan permainan yang dianggap sebagai permainan gender lawan jenisnya. 
  4. Mempunyai keinginan berpartisipasi dalam aktivitas permainan yang sesuai dengan stereotip lawan jenisnya 
  5. Keinginan kuat mempunyai teman bermain dari gender lawan jenis (dimana biasanya pada usia anak – anak lebih tertarik untuk mempunyai teman bermain dari gender yang sama). Pada remaja dan orang dewasa dapat diidentifikasikan bahwa mereka berharap menjadi sosok lawan jenisnya, berharap untuk bisa hidup sebagai anggota dari gender lawan jenisnya. 
  6. Perasaan yang kuat dan menetap ketidaknyamanan pada gender anatominya sendiri atau tingkah lakunya yang sesuai stereotip gendernya. 
  7. Tidak terdapat kondisi interseks. 
  8. Menyebabkan kecemasan yang serius atau mempengaruhi pekerjaan atau sosialisasi atau yang lainnya. 
  9. Gangguan identitas gender dapat berakhir pada remaja ketika anak – anak mulai dapat menerima identitas gender. Tetapi juga dapat terus berlangsung sampai remaja bahkan hingga dewasa sehingga mungkin menjadi gay atau lesbian.
Awal mula Gangguan Identitas Gender
Gangguan identitas gender bermula dari trauma dari orang tua yang berlawan jenis, pergaulan individu, pengaruh media massa. Kaplan (2002), gangguan identitas gender ditandai oleh perasaan kegelisahan yang dimiliki seseorang terhadap jenis kelamin dan peran jenisnya. Gangguan ini biasanya muncul sejak masa kanak-kanaak saat usia dua hingga empat tahun (Green dan Blanchard dalam Fausiah, 2003).
Nevid (2002) mengemukakan bahwa gangguan identitas gender dapat berawal dari masa kanak-kanak dengan disertai distress terus menerus dan intensif, bersikap seperti lawan jenis dan bergaul dengan lawan jenis, serta menolak sifat anatomi mereka dengan adanya anak perempuan yang memaksa buang air kecil sambil berdiri atau anak laki-laki yang menolak testis mereka.
Ciri-ciri klinis dari gangguan identitas gender (Nevid, 2002):
  1. Identifikasi yang kuat dan persisten terhadap gender lainnya: adanya ekspresi yang berulang dari hasrat untuk menjadi anggota dari gender lain, preferensi untuk menggunakan pakaian gender lain, adanya fantasi yang terus menerus mengenai menjadi lawan jenis, bermain dengan lawan jenis, 
  2. Perasaan tidak nyaman yang kuat dan terus menerus, biasa muncul pada anak-anak dimana anak laki-laki mengutarakan bahwa alat genitalnya menjijikkan, menolak permainan laki-laki, sedangkan pada perempuan adanya keinginan untuk tidak menumbuhkan buah dada, memaksa buang air kecil sambil berdiri. 
  3. Penanganannya sama seperti menangani gangguan seksual
Faktor – Faktor Penyebab
Saat ini, masih belum terdapat pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya transeksualisme hanya kepada hormon (Carroll, 2000). Faktor biologis lain, seperti kelainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif.
Faktor lain yang dianggap dapat menyebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor sosial dan psikologis. Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang melakukan cross-dressing, misalnya, kemungkinan erkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi sex anak dan identitas gender yang diperolehnya (Green, 1974, 1997; Zuckerman & Green, 1993). Walaupun demikian, faktor sosial tidak dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan dan akhirnya memilih untuk hidup sebagai laki-laki.
Teori belajar menekankan tidak adanya figur seorang ayah pada kasus anak laki – laki menyebabkan ia tidak mendapatkan model seorang pria.
Teori psikodinamika dan teori belajar lainnya menjelaskan bahwa orang dengan gangguan identitas gender tidak dipengaruhi tipe sejarah keluarganya. Faktor keluarga mungkin hanya berperan dalam mengkombinasikan dengan kecenderungan biologisnya. Orang yang mengalami gangguan identitas gender sering memperlihatkan gender yang berlawanan dilihat dari pemilihan alat bermainnya dan pakaian pada masa anak – anak. Hormon pernatal yang tidak seimbang juga mempengaruhi. Pikiran tentang maskulin dan feminine dipengaruhi oleh hormone seks fase – fase tertentu dalam perkembangan prenatal.
Terapi
Body Alterations
Pada terapi jenis ini, usaha yang dilakukan adalah mengubah tubuh seseorang agar sesuai dengan identitas gendernya. Untuk melakukan body alterations, seseorang terlebih dahulu diharuskan untuk mengikuti psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan, serta menjalani hidup dengan gender yang diinginkan (Harry Benjamin International Gender Dysphoria Association, 1998). Perubahan yang dilakukan antara lain bedah kosmetik, elektrolisis untuk membuang rambut di wajah, serta pengonsumsian hormon perempuan. Sebagian transeksual bertindak lebih jauh dengan melakukan operasi perubahan kelamin.
Keuntungan operasi perubahan kelamin telah banyak diperdebatkan selama bertahun-tahun. Di satu sisi, hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada keuntungan sosial yang bisa didapatkan dari operasi tersebut. Namun penelitian lain menyatakan bahwa pada umumnya transeksual tidak menyesal telah menjalani operasi, serta mendapat keuntungan lain seperti kepuasan seksual yan lebih tinggi.
Ganti kelamin
Sebelum tindakan operasi kelamin ada beberapa hal yang harus diperhatikan individu. Ada beberapa tahap yang harus dialaui sebelum tindakan operasi kelamin dilakukan. Tahap – tahap tersebut adalah:
Memastikan kemantapan dalam mengambil keputusan. Jika terdapat delusi paranoid dalam memutuskan mengganti kelamin, maka ahli bedah harus menolak permintaanya.
Orang yang ingin merubah dari pria menjadi wanita, estrogennya ditingkatkan untuk menumbuhkan karakteristik alat kelamin sekunder wanita. Sedangkan pada wanita yang ingin menjadi pria, hormon androgennya ditingkatkan untuk mengembangkan karakteristik alat kelamin sekunder pria.
Sebelum operasi diwajibkan hidup selama satu tahun sebagai orang dari gender lawan jenisnya untuk memprediksi penyesuaian setelah operasi. Untuk orang yan mengganti kelamin dari pria menjadi wanita, penis dan testis dibuang. Kemudian jaringan dari penis digunakan untuk membuat vagina buatan. Jika dari wanita menjadi pria, ahli bedah membuang organ kelamin internal dan meratakan payudaranya dengan membuang jaringan lemak.
Pengubahan Identitas Gender
Walaupun sebagian besar transeksual memilih melakukan body alterations sebagai terapi, ada kalanya transeksual memilih untuk melakukan pengubahan identitas gender, agar sesuai dengan tubuhnya. Pada awalnya, identitas gender dianggp mengakar terlalu dalam untuk dapat diubah. Namun dalam beberapa kasus, pengubahan identitas gender melalui behavior therapy dilaporkan sukses. Orang-orang yang sukses melakukan pengubahan gender kemungkinan berbeda dengan transeksual lain, karena mereka memilih untuk mengikuti program terapi pengubahan identitas gender

http://www.psychologymania.com/2011/09/gangguan-identitas-gender-gender.html
http://www.psychologymania.com/2012/05/pengertian-stress.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Motivasi
http://www.masbow.com/2008/06/abnormalitas-dalam-psikologi.html


Nama: M. Rizky Kurniawan
2PA08
14511208